Kamis, 21 Oktober 2010

Drs. H.M. SYAMSUL BAHRI ( Ketua Yayasan Bahrul Ulum Ash - Sholihin Jakarta Barat )

" Prinsip-Prinsip Hidupku "

( Dalam prinsip – prinsip kehidupanku, bahwa kejujuran adalah modal utamaku, menolong adalah sifatku, keikhlasan adalah imanku, menyampaikan adalah tugasku, keberanian adalah jiwaku, keberhasilan adalah harapanku, bila itu semua tidak kudapatkan, hatiku takkan berhenti memohon pertolongan dari Tuhanku, insya Allah doaku pasti dikabulkan , karena keyakinanku setiap yang diminta oleh hambanya pasti Tuhanku akan mengabulkan nya ).
Aku selalu ingat “ Tangan diatas lebih mulia dari tangan dibawah “, oleh karena itu kesimpulanku “ Aku pantang meminta kalau masih mampu menanggulanginya “.

Yayasan Pendidikan Islam Bahrul Ulum Ash-sholihin Jakarta Barat Berjuang Cerdaskan Anak Bangsa

Anak adalah amanah titipan Allah Swt kepada setiap orang tua. Titipan yang harus dijaga, dipelihara, dididik dan dibimbing. Kami, yayasan Bahrul Ulum Ash Sholihin berusaha memelihara, menjaga, mengarahkan dan mendidik mereka sehingga mencapai apa yang dicita-cita peserta didik itu. Kami berupaya menjadikan mereka insan kamil, yang bisa berbakti dan mengabdi kepada orang tua mereka, kepada Allah Swt dan RasulNya serta kepada bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.
Bahwa peran dan tanggung jawab orang tua terhadap anak mereka dalam menyongsong masa depan sangat berat, akan tetapi sungguh mulia. Itu bagi orang tua yang mengerti pendidikan Islam. Bahwa tanggung jawab mereka masa mendatang memang berat, seiring dengan maju pesatnya informasi global. Mereka dituntut mampu mengerjakan, mengantisipasi nilai-nilai luhur ajaran Islam. Mereka juga diminta pertanggung jawaban agar peka menghadapi kenyataan dan realitas kehidupan sosial mereka ke depan. Mereka pun mesti kredibel mempraktikan ajaran agama ini.
Maka Yayasan Bahrul Ulum Ash Sholihin sejak berdirinya dulu, menjadi mitra para orang tua mendidik anak mereka. Sebagai institusi pendidikan Islam, Yayasan Bahrul Ulum Ash Sh
Sholihin domisili Jl KH Thohir Rt 01/07 no 6 Sukabumi Selatan Kebon Jeruk Jakbar telp (021) 533 1104 sejak 1 Mei-Juli 2010, membuka pendaftaran siswa dan santri baru, tahun pelajaran 2009/2010. Koordinator Penerimaan Siswa/Santri Baru: Drs H M Syamsul Bahri HP 085233347927 (Ketua Yayasan), Hj Umroh SPd Telp (021) 533 1104 (Kepala MI/SD Ash Sholihin), Drs Abdul Kholik HP 0813 82023606 (Kepala SMP Ash Sholihin).
Bagi pendaftar 40 pertama, akan mendapatkan bonus Al Qur-an dan Juz Amma. Ada pun persyaratanya: Formulir TK, TPA, MI/SD, SMP, Play Group a Rp30 ribu, batik Rp45 ribu-Rp55 ribu. Baju OR a Rp50-75 ribu, busana muslim/ah a Rp55-60 ribu, topi/dasi Rp20 ribu, baju merah Rp60 ribu, alat peraga Rp50 ribu, komputer Rp10-20 ribu per siswa/bulan, total Rp180.0000-Rp520 ribu per anak. Dengan fasilitas: Gedung dan lokasi strategis, mudah dijangkau dari berbagai jurusan. Alat bermain in door (di dalam ruangan tertutup) dan out door (di luar kelas/ruangan). Tersedia perpustakaan sekolah, 25 lab komputer, aula serba guna, musholla/tempat ibadah, tempat mandi dan wudlu cukup memadai, sarana Olahraga, asrama santriwan/wati.
Yayasan Pendidikan Islam Bahrul Ulum Ash Sholihin berdiri sejak tahun 1988 dan kurang lebih 30 tahun silam lebih ini selalu siap menerima para santri yatim dan piatu serta kaum muslimin dari keluarga mustadafin (berekonomi lemah) seluruh Indonesia. Lokasi pendidikan mereka memang di sini tempat yang cocok. (rah

SEKOLAH BUKAN PASAR

SEKOLAH SEKARANG MENJADI PASAR

Tempo hari, putri kecil saya sekolah ditaman kanak - kanak, sepulang sekolah membawa surat edaran dari kepala sekolahnya. Isi surat dimulai dengan menyebut " Sesuai keputusan Kantor Dinas Pendidikan dan Pengajaran cabang ..., semua TK diharapkan melihat hiburan operet Teletubbies dan Power Rangers ... ". Surat itu menyebutkan waktu, tempat, dan harga karcis yang mesti dibayar oleh siswa dengan pendampingnya.Saya termangu karenanya, bukan karena jumlah uang yang harus dibayarkan untuk karcis pertunjukan. Betapa sekolah dari tingkat taman kanak - kanak sampai perguruan tinggi sekedar menjadi pasar sekaligus pangsa pasar untuk meraup keuntungan finansial.

Jika surat di atas saya kemukakan disini, tidak ada maksud memojokan kepala sekolah yang membuat surat edaran. Kalimat pertama surat dengan jelas menyebutkan instansi asal keputusan dan pemerintah tersebut. Kepala sekolah jelas - jelas dalam posisi terjepit. Kantor Dinas menginjaknya, sementara para orang tua siswa memberontaknya, (meski diam - diam). Birokrat memosisikan diri sebagai pialang alisa makelar berbagai usaha dagang. Memang lebih tepat disebut makelar karena dalam proses demikian juga memperoleh keuntungan.

Dalam waktu yang hampir bersamaan muncul memberitakan "Siswa kelas III sampai kelas VI sekolah dasar (SD) / Madrasah Ibtidaiyah (MI) disuruh menyaksikan pentas ketoprak dengan biaya Rp. 15.000,- per siswa. Pertunjukan tersebut dilaksanakan pada saat jam pelajaran berlangsung. Beberapa orang tua siswa yang enggan disebut namanya mengatakan, meski bukan wajib, karena yang menyuruh adalah guru, sangat tidak mungkin bagi siswa maupun orang tua berani menolaknya. Uang hasil pertunjukan yang jumlahnya tidak kecil, digunakan bancakan pihak sekolah, Dinas P & K  Ranting Kecamatan serta Dinas P & K Kabupaten.  

Berkait dengan pengalaman diatas, saya sepakat dengan ungkapan Bertrand Russel bahwa pada gilirannya guru sekedar sebagai profesi, sebagai pekerjaan yang sudah terorganisasi rapi dengan segala motif dan kepentingan yang bertumpuk didalamnya. Lebih jauh Russel menyebut, bahwa guru dalam sistem birokrasi massal menjadi ujung tombak mewartakan kepentingan birokrasi. Maka, jadilah guru bukan sebagai agen pemberi kebijakan, pemberi kecerdasan manusiawi, pelatih kedewasaan, bahkan menjadi agen kebohongan dan ideologi yang harus disebarluaskan oleh birikrat pemegang keputusan yang notabene adalah atasan guru.Dan, pada gilirannya sekolah adalah pasar paling potensial untuk dimasuki lewat birokrasi urusan pendidikan.

Mekanisme pasar lebih mendominasi irama sekolah sepanjang tahun ajaran berlangsung. Pada proses penerimaan siswa baru, budaya titip, prioritas anak pejabat, surat sakti, atau main uang, tidak lain adalah bentuk jual beli layaknya pasar.

Acara setelah penerimaan siswa adalah pengadaan seragam siswa. Siswa menjadi konsumen pasar tekstil, sepatu dan berbagai atribut yang bisa jadi harganya melampaui harga yang wajar di luaran. Ketika tahun ajaran berjalan, sekolah berubah menjadi pasar buku pelajaran. Setiap tahun buku bisa berganti - ganti, tidak bisa di estafetkan kepada adiknya.

Menjelang liburan, kegiatan wisata atau study tour menampakan wajah pasar. Ketika menjadi narasumber sebuah talk-show kependidikan di sebuah radio swasta di Ungaran. Jawa Tengah, ada orang tua di Semarang mengeluh kewajiban yang memberatkannya. Anaknya yang sekolah di SLTP wajib mengikuti tur ke Bali, pokoknya kegiatan ini wajib dan biayanya tidak kecil bagi banyak orang tua.

Berbagai lembaga kursus, tes IQ, kursus komputer, sempoa, masuk kesekolah - sekolah. Para Kepala sekolah memobilisasi para siswa ( Orang Tua )untuk mengeluarkan uang lagi demi melayani para penyedia jasa tersebut. Betapa pun rumusan kependidikan dilakukan, toh ujung - ujungnya tetap saja duit alias uang.

Bukan saja lembaga swasta yang bisa menjadikan sekolah sebagai pasar. Pemerintah pun berbuat serupa. Banyak tahun saya melayani pegawai pemda yang setiap awal tahun menyodorkan tidak kurang dari Lima Ratus kupon Palang Merah Indonesia. Kupon itu harus dibeli oleh siswa kemudian uangnya disetor ke PMI (katanya!).

Menarik uang dari siswa entah itu bernama iuran, sumbangan sukarela, atau sumbangan wajib tetap saja orang tua yang menanggung. Bahkan jika dibanyak tempat dikeluhkan sepak terjang Musyawarah Kerja Kepala Sekolah yang menyelenggarakan kegiatan ulangan umum bersama, sementara kalangan guru menduga ada motivasi uang dibelakang penyelenggaraan itu.

Akhirnya, saya meminjam rumusan Darmaningtyas bahwa kebiasaan menjadikan sekolah ladang mencari keuntungan lewat kain seragam, alat tulis, biro wisata, atau lembaga kursus, yang pada akhirnya hanya membebani masyarakat dengan berbagai pungutan, saatnya harus ditinggalkan. Mekanisme demikian itu mempunyai kontribusi sangat besar terhadap proses pemiskinan masyarakat yang sudah miskin. Sekolah harus sudah saatnya dibebaskan dari suasana bisnis yang dilakukan oleh siapa pun terlebih oleh birokrat Diknas, kepala sekolah, atau guru, dengan dalih apa pun.

Fungsi pejabat Diknas, kepala sekolah, atau guru adalah mendidik, bukan sebagai pedagang, calo, makelar, blantik, atau renternir bagi berbagai produk industri. Pencampuradukan peran - peran pendidik dengan colo tersebut akan merusak sistem pendidikan nasional dan tidak lagi terbedakan sekolah sebagai tempat mencari ilmu pengetahuan dengan pasar sebagai tempat berjual beli ( termasuk jual beli gelar ). *

Oleh : ST. KARTONO  2005, Sekolah Bukan Pasar, Jakarta Kompas Penerbit Buku