Kamis, 21 Oktober 2010

SEKOLAH BUKAN PASAR

SEKOLAH SEKARANG MENJADI PASAR

Tempo hari, putri kecil saya sekolah ditaman kanak - kanak, sepulang sekolah membawa surat edaran dari kepala sekolahnya. Isi surat dimulai dengan menyebut " Sesuai keputusan Kantor Dinas Pendidikan dan Pengajaran cabang ..., semua TK diharapkan melihat hiburan operet Teletubbies dan Power Rangers ... ". Surat itu menyebutkan waktu, tempat, dan harga karcis yang mesti dibayar oleh siswa dengan pendampingnya.Saya termangu karenanya, bukan karena jumlah uang yang harus dibayarkan untuk karcis pertunjukan. Betapa sekolah dari tingkat taman kanak - kanak sampai perguruan tinggi sekedar menjadi pasar sekaligus pangsa pasar untuk meraup keuntungan finansial.

Jika surat di atas saya kemukakan disini, tidak ada maksud memojokan kepala sekolah yang membuat surat edaran. Kalimat pertama surat dengan jelas menyebutkan instansi asal keputusan dan pemerintah tersebut. Kepala sekolah jelas - jelas dalam posisi terjepit. Kantor Dinas menginjaknya, sementara para orang tua siswa memberontaknya, (meski diam - diam). Birokrat memosisikan diri sebagai pialang alisa makelar berbagai usaha dagang. Memang lebih tepat disebut makelar karena dalam proses demikian juga memperoleh keuntungan.

Dalam waktu yang hampir bersamaan muncul memberitakan "Siswa kelas III sampai kelas VI sekolah dasar (SD) / Madrasah Ibtidaiyah (MI) disuruh menyaksikan pentas ketoprak dengan biaya Rp. 15.000,- per siswa. Pertunjukan tersebut dilaksanakan pada saat jam pelajaran berlangsung. Beberapa orang tua siswa yang enggan disebut namanya mengatakan, meski bukan wajib, karena yang menyuruh adalah guru, sangat tidak mungkin bagi siswa maupun orang tua berani menolaknya. Uang hasil pertunjukan yang jumlahnya tidak kecil, digunakan bancakan pihak sekolah, Dinas P & K  Ranting Kecamatan serta Dinas P & K Kabupaten.  

Berkait dengan pengalaman diatas, saya sepakat dengan ungkapan Bertrand Russel bahwa pada gilirannya guru sekedar sebagai profesi, sebagai pekerjaan yang sudah terorganisasi rapi dengan segala motif dan kepentingan yang bertumpuk didalamnya. Lebih jauh Russel menyebut, bahwa guru dalam sistem birokrasi massal menjadi ujung tombak mewartakan kepentingan birokrasi. Maka, jadilah guru bukan sebagai agen pemberi kebijakan, pemberi kecerdasan manusiawi, pelatih kedewasaan, bahkan menjadi agen kebohongan dan ideologi yang harus disebarluaskan oleh birikrat pemegang keputusan yang notabene adalah atasan guru.Dan, pada gilirannya sekolah adalah pasar paling potensial untuk dimasuki lewat birokrasi urusan pendidikan.

Mekanisme pasar lebih mendominasi irama sekolah sepanjang tahun ajaran berlangsung. Pada proses penerimaan siswa baru, budaya titip, prioritas anak pejabat, surat sakti, atau main uang, tidak lain adalah bentuk jual beli layaknya pasar.

Acara setelah penerimaan siswa adalah pengadaan seragam siswa. Siswa menjadi konsumen pasar tekstil, sepatu dan berbagai atribut yang bisa jadi harganya melampaui harga yang wajar di luaran. Ketika tahun ajaran berjalan, sekolah berubah menjadi pasar buku pelajaran. Setiap tahun buku bisa berganti - ganti, tidak bisa di estafetkan kepada adiknya.

Menjelang liburan, kegiatan wisata atau study tour menampakan wajah pasar. Ketika menjadi narasumber sebuah talk-show kependidikan di sebuah radio swasta di Ungaran. Jawa Tengah, ada orang tua di Semarang mengeluh kewajiban yang memberatkannya. Anaknya yang sekolah di SLTP wajib mengikuti tur ke Bali, pokoknya kegiatan ini wajib dan biayanya tidak kecil bagi banyak orang tua.

Berbagai lembaga kursus, tes IQ, kursus komputer, sempoa, masuk kesekolah - sekolah. Para Kepala sekolah memobilisasi para siswa ( Orang Tua )untuk mengeluarkan uang lagi demi melayani para penyedia jasa tersebut. Betapa pun rumusan kependidikan dilakukan, toh ujung - ujungnya tetap saja duit alias uang.

Bukan saja lembaga swasta yang bisa menjadikan sekolah sebagai pasar. Pemerintah pun berbuat serupa. Banyak tahun saya melayani pegawai pemda yang setiap awal tahun menyodorkan tidak kurang dari Lima Ratus kupon Palang Merah Indonesia. Kupon itu harus dibeli oleh siswa kemudian uangnya disetor ke PMI (katanya!).

Menarik uang dari siswa entah itu bernama iuran, sumbangan sukarela, atau sumbangan wajib tetap saja orang tua yang menanggung. Bahkan jika dibanyak tempat dikeluhkan sepak terjang Musyawarah Kerja Kepala Sekolah yang menyelenggarakan kegiatan ulangan umum bersama, sementara kalangan guru menduga ada motivasi uang dibelakang penyelenggaraan itu.

Akhirnya, saya meminjam rumusan Darmaningtyas bahwa kebiasaan menjadikan sekolah ladang mencari keuntungan lewat kain seragam, alat tulis, biro wisata, atau lembaga kursus, yang pada akhirnya hanya membebani masyarakat dengan berbagai pungutan, saatnya harus ditinggalkan. Mekanisme demikian itu mempunyai kontribusi sangat besar terhadap proses pemiskinan masyarakat yang sudah miskin. Sekolah harus sudah saatnya dibebaskan dari suasana bisnis yang dilakukan oleh siapa pun terlebih oleh birokrat Diknas, kepala sekolah, atau guru, dengan dalih apa pun.

Fungsi pejabat Diknas, kepala sekolah, atau guru adalah mendidik, bukan sebagai pedagang, calo, makelar, blantik, atau renternir bagi berbagai produk industri. Pencampuradukan peran - peran pendidik dengan colo tersebut akan merusak sistem pendidikan nasional dan tidak lagi terbedakan sekolah sebagai tempat mencari ilmu pengetahuan dengan pasar sebagai tempat berjual beli ( termasuk jual beli gelar ). *

Oleh : ST. KARTONO  2005, Sekolah Bukan Pasar, Jakarta Kompas Penerbit Buku




4 komentar:

  1. Silahkan Baca Blog ini, dan Jangan Lupa Beri Comentnya.

    BalasHapus
  2. Artikelnya Oke Juga ...!!! tapi kayanya belum komplit deh Blognya ....!!!!

    BalasHapus
  3. Jadi ingat semasa sekolah di Ash-Sholihin deh saya, .... !!! Sukses selalu Ya My School ASH - SHOLIHIN...... !!!!!

    BalasHapus
  4. gamenya bikin liyer..... tapi bagus juga.sukses deh...............

    BalasHapus